Menembus Gelap Di Nabire

Pulau Cendrawasih juga punya seorang tenaga penilik pendidikan nonformal yang gigih. “Banyak jalan di Nabire yang cuma bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Maka, saya bekerja dengan berjalan kaki. Bermalam 3 sampai 4 hari di perjalanan, itu sudah biasa, ” ucapnya tanpa canggung. Lelaki ini memang sudah tak muda lagi. Namun ia telah menembus berbagai pelosok di distrik Mapia, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua.   Namanya, Zacharias Petege. Putra daerah Papua ini telah meniti perjalanan karir cukup panjang. Selama lebih dari 38 tahun, ia telah menjalani profesinya di dunia pendidikan. Kini ia tinggal di distrik Mappia, Kabupaten Nabire.  Nabire terletak pada bagian pantai utara Provinsi Papua di kawasan Teluk Cenderawasih. Kabupaten Nabire punya 12 distrik/kecamatan, yaitu Yaur, Uwapa, Mapia, Sukikai, Nabire, Wanggar, Napan, Kamu, Ikrar dan Siriwo, Makimi dan Teluk Umar, serta 156 kampung (kelurahan/desa). Kabupaten Nabire hanyalah satu dari 20 kabupaten yang ada di Provinsi Papua. Luasnya mencapai 29.678 km2 dan berdasarkan data tahun 2005, tercatat jumlah penduduk di Kabupaten Nabire sebanyak 160. 882 jiwa. Penduduknya banyak yang bertani kopi arabika, beternak babi, ayam, dan kelinci.Dari kedekatannya dengan masyarakat Kabupaten Nabire,  Zacharias melihat semburat tekad dan semangat belajar yang cukup kuat. Inilah yang juga mendorong Zacharias berjibaku dalam pengabdiannya sebagai penilik di pelosok Nabire. Wilayah pelosok ini juga yang membentuk Zacharias menjadi pengabdi di jalur pendidikan nonformal.    Tanpa Pamrih Zacharias juga memaparkan sedikit kronologis sejarah akses pendidikan di distrik Mapia. Ia lahir di pedalaman Nabire. Kedekatannya dengan lingkungan di Nabire, membuatnya tak canggung pada kondisi alam dan masyarakat di sana. Kondisi masyarakat di sana masih belum memperoleh layanan pendidikan secara maksimal. Peran serta pihak misionaris dalam hal memberi bantuan akses pendidikan di sana, dimulai tahun 1952. Melalui peranan Misionaris pula, beberapa anak diberangkatkan ke daerah pantai selatan di Mimika untuk melanjutkan sekolah yang lebih baik di sana.  Anak-anak yang diberangkatkan ke Mimika, kemudian selalu kembali ke tanah Mapia untuk menjadi pengajar/guru dan memberantas buta huruf yang ada di sana. Pihak Misionaris mendatangkan anak-anak yang sudah bebas buta huruf kala itu, untuk kembali ke distrik Mapia dan mengajar anak-anak dan masyarakat di pedalaman Mapia. Menginjak tahun 1956, dari 18 orang anak yang dibawa pihak Misionaris untuk belajar di Mimika, satu diantaranya termasuk Zacharias Petege. “Waktu itu saya sudah kelas 4 SD,” kenangnya. Karena pihak Misionaris membutuhkan tenaga pengajar di Mapia, mereka yang baru menginjak kelas 4 SD ini pun dijemput kembali dan ditempatkan di kampung-kampung distrik Mapia. Dalam usia yang sangat muda, Zacharias dan kawan-kawan telah mulai menjadi pendidik tanpa pamrih di tanahnya sendiri.  

Kebutuhan atas pembebasan buta huruf, datang dari masyarakat. Dorongan ini timbul dengan sendirinya. Zacharias menuturkan, karena warganya sering mendengar pendeta membacakan isi dari kitab suci kami di gereja, para jemaat gereja ini jadi ingin tahu banyak tentang isinya. Salah satu syaratnya, adalah harus bisa membaca dan menulis. Semangat mereka untuk belajar membaca, membawa secercah percepatan tuntas buta aksara di Mapia.

 Selain mengajar baca dan tulis, mereka juga didampingi pendeta dan membantu mengajarkan beberapa hal tentang Agama Kristen. Saat itu, mereka memang mendampingi para misionaris yang juga bertugas menyebarkan ajaran Agama Kristen. Peranan dan kontribusi pihak misionaris di daerah Mapia, cukup membantu kebutuhan masyarakat akan akses pendidikan. Pada saat itu, dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki daerah Mapia, akhirnya didirikan pula sekolah-sekolah keagamaan di sana.  Akhirnya, pada tahun 1960, pemerintah pusat memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah yang dianggap memenuhi syarat. Diantaranya, yang memiliki murid cukup banyak dan membutuhkan bantuan guru serta sarana belajar. Mengingat pada saat itu, kebutuhan guru yang berkompeten sangat mendesak. Dan di Mimika belum ada satupun warganya yang lulus pendidikan di sekolah guru. Melalui program ini, pemerintah pusat mendatangkan beberapa orang guru dari daerah lain, untuk mengajar di Mimika.    Dalam perkembangannya hingga empat belas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1966, telah ada satu orang penduduk Mapia yang berhasil lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Tiga tahun berikutnya, Zacharias menjadi angkatan ke-3 yang berhasil lulus SPG di Biak tahun 1968.  Setahun kemudian, ia mulai menoreh jejak pertamanya di dunia pendidikan dengan diangkat menjadi guru sekaligus kepala sekolah di SD Yayasan Pendidikan Persekolahan Katholik (YPPK) Oma Kapaw.  Setelahnya, ia juga pernah menjadi pengawas TK dan SD di distrik Kamu. Dan dalam kurun waktu 12 tahun, terhitung sejak tahun 1987 ia menjadi kepala kantor kecamatan di distrik Paniai dan distrik Kamu (dalam dua tahap kepindahan tugas).  Pria berputra 7 orang ini, kemudian mulai menjalani tugasnya sebagai penilik Pendidikan Masyarakat (Dikmas) di distrik Mapia, sejak ia diangkat pada tahun 1999.  Ia menjalani tugasnya sebagai penilik dikmas selama 6 tahun dan lebih banyak melakukan kerja-kerjanya di luar ruangan. Sebagai penilik Dikmas, ia kerap berkeliling kampung dan menyeberang antar distrik.  Zacharias harus berkunjung ke lebih dari 20 tempat setiap bulannya. Diantaranya, 15 tempat penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF), 6 tempat Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C, 4 Taman Bacaan Masyarakat, dan 4 tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di distrik Mapia. Ia harus menempuh medan yang lumayan berat. “Di sana, masih banyak jalan yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki,” tuturnya. Jarak antar kampung tak tangung-tanggung. Tak jarang Zacharias harus berjalan kaki selama 3 s/d 4 hari. Dan ia pun terpaksa menginap di rumah-rumah penduduk yang jalurnya ia lewati.  Jika senja mulai turun, udara di sana menjadi lebih dingin. Suasana menjadi sangat gelap, karena kebanyakan penduduk di distrik Mapia, masih menggunakan lilin sebagai alat penerangannya. Jaringan listrik dan telepon memang belum menjangkau daerahnya. Sebuah kondisi yang luar biasa berat ini, dijalani dengan penuh semangat. Motivasi yang ia tebarkan ke beberapa tempat kegiatan pendidikan nonformal di wilayahnya, telah membuahkan hasil. Sebanyak 1.581 orang lulusan dari pendidikan nonformal di pendidikan KF, paket A s/d C, juga kursus keterampilan wanita telah mendapatkan ijazahnya. Terakhir, di distrik Mapia juga telah didirikan sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kobouge pada tahun 2003 lalu.  Urusan kompensasi, tak banyak dihiraukannya. Selama 6 tahun menjadi tenaga penilik pendidikan masyarakat, hanya 3 tahun belakangan ia memperoleh honor. Honornya yang sejumlah Rp 1juta, diperolehnya per 6 bulan. Walau sejak tahun 1993 ia tak mendapatkan kenaikan pangkat dan golongan, ia juga tetap banyak bersabar. Pria berpangkat IIIc, ini tetap menjalani tugasnya dengan hatinya yang ikhlas. “Mungkin karena saya cuma tamatan SPG, yang setara SMA, maka kenaikan pangkat saya juga tak banyak dipedulikan,” ujarnya prihatin.  

Tahun 2007 ini, Zacharias telah menginjak usia 60 tahun. Kini ia telah menggunakan alat bantu dengar. Namun hingga sekarang masih gesit menjalani tugasnya sebagai pengawas TK dan SD di Distrik Mapia, Nabire. Sebuah tempat yang membutuhkan banyak orang setegar dan seteguh Zacharias Petege.

Tulisan ini telah dimuat di sebuah majalah pendidikan nonformal yang berkantor di Jakarta.

Writer: Ayu N. Andini

~ oleh one1thousand100education pada Desember 12, 2007.

Tinggalkan komentar